Saturday, December 19, 2009

Fibrous displasia

Fibrous displasia adalah satu jenis kelainan tulang dari lesi fibro-osseus yang merupakan kondisi patologis jinak pada tulang dan sering dijumpai pada maksila, tulang tengkorak maupun mandibula. Perubahan kondisi tulang yang terjadi berupa pembentukan jaringan mesenkim yang abnormal dimana terjadi penggantian tulang spongiosa dengan jaringan fibrous. Pada kebanyakan kasus, lesi ini sering dijumpai pada masa anak-anak sebagai anomali kongential, dan pada dewasa muda tetapi jarang mendapat perhatian sampai kemudian pasien menyadarinya. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan lesi yang berjalan lambat, tanpa keluhan. Pada keadaan lebih lanjut tulang tengkorak akan mengalami pembesaran dan perubahan bentuk.

Penonjolan dapat mengakibatkan perubahan bentuk wajah (asimetris dari muka ) kemudian dapat juga meluas sampai ke tulang malar dan bagian lain dari pertengahan wajah juga sinus maksilaris dapat terlibat. Perubahan yang parah terhadap tulang akan mengakibatkan terjadinya fraktur yang spontan dan ini merupakan komplikasi dari fibrous displasia. Meskipun perkembangan lesi ini dapat semakin membesar selama bertahun-tahun, tetapi ada kecanderungan berhenti dengan selesainya pertumbuhan tulang.

Tipe monoostotik dan poliostotik sering dipakai pada fibrous displasia yang berarti melibatkan satu atau beberapa tulang disamping tipe Albright`s sindrom untuk lesi tulang yang parah. Perawatan secara operasi lebih disukai daripada penggunaan sinar X, karena dengan penyinaran dilaporkan sering menimbulkan sarkoma.

Eugene Braunwald (1987), menyatakan penyebab kelainan penyakit fibrous displasia tidak diketahui, penyakit ini tidak tampak seperti penyakit turunan, meskipun telah dilaporkan mempengaruhi kembar monozygot.

Suatu penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini mungkin disebabkan kelainan struktur kimia suatu protein tulang yang mengakibatkan pembesaran sel-sel yang menghasilkan jaringan fibrous. Kelainan kimiawi tersebut terjadi karena mutasi struktur gen yang memproduksi protein. Fibrous displasia mungkin merupakan penyakit kongenital, yang berarti individu-individu yanga menderita penyakit ini mungkin mengidapnya sejak meraka lahir. Fibrous displasia ada hubungannya dengan fungsi hormonal dan sering dijumpai pada wanita.

Klasifikasi
Secara umum klasifikasi dari fibrous displasia dipakai dengan istilah monoostotik dan polistotik sebagai bentuk fibrous displasia yang berarti melibatkan satu atau lebih tulang.
Ada juga yang membagi klasifikasinya menjadi 3 kategori utama yaitu:
1. Monoostotik (yang sering dijumpai)
Monoostotik fibrous displasia merupakan bentuk penyakit fibrous displasia yang hanya melibatkan satu bagian tunggal tulang. Ini dimulai pada masa anak-anak tetapi secara tipikal mengalami pertambahan osifikasi dan tertahan pada masa dewasa. Lebih dari 80 % dari kasus yang ada merupakan kasus monoostotik fibrous displasia.
Monoostotik fibrous displasia biasanya dideteksi pada pasien dewasa muda atau didiagnosa sejak usia 20-30 tahun dan tetap ada perubahan sepanjang hidup. Lesi ini tidak dapat berkembang selama masa pubertas dan dapat lebih buruk selama masa kehamilan.
Monoostotik fibrous displasia secara umum menunjukkan distribusi yang sama pada kedua jenis kelamin laki-laki atau perampuan. Monostotik fibrous displasia meskipun tidak begitu parah dibandingkan poliostotik fibrous displasia namun lebih besar mendapatkan perhatian dokter gigi karena kasus monostotik fibrous displasia sering dijumpai.
Monoostotik fibrous displasia sering terjadi pada maksila dibandingkan dengan mandibuloa. Lesi pada maksila dapat meluas melibatkan sinus maksilaris, tulang zygomatik, tulang sphenoid dan dasar orbita. Pembengkakan yang tidak stabil, membesar dalam waktu yang lama, menimbulkan pembengkakan unilateral yang mengakibatkan bentuk wajah yang asimetris. Jika pembengkakan berada di maksila maka terdapat pertambahan penonjolan pipi dan perluasan lempeng kortikal.
Pada beberapa kasus, dimana pertumbuhannya lebih cepat dan luas mungkin terjadi pembengkakan yang jelas dari pipi dan exopthalmus. Pada rahang terdapat beberapa gigi yang tidak teratur letaknya, tipping atau berpindah akibat maloklusa dan gangguan pola erupsi, meskipun mobiliti dari gigi yang erupsi bukan merupakan tanda fibrous displasia.
Pada pemerikasaan tidak terlihat perubahan pada mukosa, warna normal, tetap melekat erat pada tulang tanpa kerusakan pada periosteum. Pada beberapa kasus permukaan tulang licin tapi pada kasus lain dijumpai permukaan yang nodular dan ekspansi. Selain itu terlihat pembesaran tulang yang dapat berkembang selama bertahun-tahun, tetapi ada kecenderungan untuk berhenti setelah pertumbuhan tulang selesai.
Pasien dapat memiliki noda ” cafe-au-lait ” pigmentasi kutaneus dengan batas bergerigi. Perubahan ekstraskeletal disertai hiperpigmentasi kulit dan ini tidak bisa terjadi pada monoostotik fibrous displasia.

2. Polistotik
Poliostotik fibrous displasia merupakan bentuk penyakit fibrous displasia yang melibatkan terkenanya beberapa tulang tanpa disertai kelainan endokrin terjadi sekitar 25-30% dari kasus yang dijumpai.
Penyakit ini cenderung muncul pada usia sedikit lebih awal dibandingkan dengan monostotik dan perkembangan sampai pertengahan usia orang dewasa. Kedua jenis kelamin mempunyai kemungkinan yang sama terkena penyakit ini. Ada dua tipe poliostotik fibrous displasia yaitu sebagai berikut:
a. Fibrous displasia yang melibatkan sejumlah variabel tulang-tulang, meskipun sebagian besar tulang tengkorak dalam keadaan normal, namun disertai lesi pigmentasi kulit atau bercak-bercak “lafe-au-lait” (tife jaffe).
b. Suatu fibrous displasia yang bahkan lebih ganas dan melibatkan seluruh tulang tengkorak disertai dengan lesi-lesi pigmentasi kulit dan sebagai tambahan terdapat gangguan-gangguan endokrin dari tipe-tipe yang bervariasi (Sindrom Mc Cune Albright).

Poliostotik fibrous displasia mempunyai menifestasi awal berupa bentuk deformitas, pembengkakan atau penipisan dari tulang-tulang panjang, dalam penyebarannya sering universal. Gejala pertama biasanya tersembunyi dan membahayakan walaupun rasa sakit pada tulang yang kambuh merupakan simptom skeletal yang paling sering terjadi. Tulang-tulang wajah dan tengkorak sering kali terlibat dan dapat menyebabkan asimentris wajah yang jelas, dapat pula melibatkan klavikula tulang felvis, skapula, tulang-tulang panjang, metakarpal dan metatarsal. Karena parahnya perubahan-perubahan yang terjadi pada tulang, maka fraktur spontan merupakan komplikasi yang umum penyakit ini, serta dapat mengakibatkan terjadinya cacat.
Lesi-lesi kulit yang tergabung dalam penyakit poliostotik fibrous displasia ini terdiri atas bercak-bercak pigmentasi melanotic irreguler. Yang dijabarkan sebagai bercak-bercak “cafe-au-lait” karena warna coklat muda. Pada wanita yang terjadi pubertas sebelum waktunya dimana manifestasi pada umumnya adalah pendarahan pada vagina. Dilaporkan adanya suatu variasi lain dari gangguan sistem endorkrin, termasuk dengan apa yang berkaitan dengan pituitari, tiroid, paratiroid dan ovarium.
Lesi ini dapat dijumpai pada maksila dan mandibula. Tetapi kasus poliostotik ini jarang dijumpai oleh dokter gigi. Manifestasi ekstraskeletal dari poliostotik fibrous displasia adalah pigmentasi kulit, tampak seperti makula yang terang atau coklat tua (mengandung melanin) sering berlokasi pada sisi yang terkena, dan kelainan endokrin yang terjadi sekitar 3 % dari seluruh pasien fibrous displasia.

3. Sindrom Albright`s
sindrom ini bercirikan fibrous yang menyebar, area pigmentasi dan disfungsi endrokrin dengan pubertas yang terlalu cepat pada wanita. Lesi tulang ini disebut dengan fibrous displasia. Dasar alami dari kelainan ini tidak diketahui.
Pada beberapa kasus fibrous displasia, dapat terjadi sebagai akibat masalah hormonal dan pigmentasi cutaneus melanotic (makula cafe-au-lait). Kondisi ini diasumsikan sebagai Sindrom Mc Cune Albright. Pasien-pasien yang terkena fibrous displasia hanya pada satu tulang seringnya tidak memperlihatkan sindrom ini.

Shafer membagi pliostatik fibrous displasia atas 2 tipe yaitu :
1. Fibrous displasia yang meliputi beberapa tulang tetapi kerangka masih normal dan disertai adanya lesi pigmentasi pada kulit (cafe-au-lai-spot) yang disebut dengan tipe Jaffe.
2. Fibrous displasia yang meliputi seluruh bagian tulang kerangka dan disamping adanya lesi pigmentasi pada kulit juga disertai adanya gangguan kelenjar endokrin yanga disebut sebagai Albright`s sindrom.

PERAWATAN FIBROUS DISPLASIA
Perawatan yang terbaik dari kasus fibrous displasia adalah dengan pembedahan. Terhadap lesi yang melibatkan tulang rahang dan wajah maka pembedahan harus dapat mempertahankan bentuk estetik dari wajah atau remodeling prosessus alveolaris untuk dapt memperbaiki retensi protesa. Ini berarti perawatan fibrous displasia dilakukan secara surgical contouring yaitu pengambilan massa tumor (lesi) secara pembedahan dengan mengembalikan kontur tulang sebagai semula. Pengambilan tulang mudah dilakukan karena umumnya tulang yang dikenai menjadi lunak dan pengambilan tulang lebih banyak mungkin diperlukan untuk memperoleh penyembuhan yang lebih baik.
Perawatan fibrous displasia monoostotik biasanya termasuk kuretase lesi tulang dan jika diperlukan pembalutan dengan chip (keeping) tulang. Perawatan tipe poliototik dapat memerlukan adanya prosedur ortopedik untuk menstabilisasi fraktur dan memperbaiki atau mencegah deformitas.
Bila lesi kecil dan tidak berkapsul pengambilan dapat dilakukan tanpa menimbulkan kerusakan tulang yang besar dan tidak menghilangkan kontinuitas tulang. Tetapi jika lesi telah meluas dan pengambilan secara keseluruhan sampai batas-batas tulang yang terlibat tidak memungkinkan maka pembedahan dilakukan hanya sampai batas-batas esteteik yang dapat dicapai. Diketahui bahwa pertumbuhan lesi cenderung berhenti apabila pertumbuhan tulang selesai, sehingga dalam hal ini jika memungkinkan , apabila pembedahan dimaksudkan tujuan estetik, sebaiknya pembedahan ditunda sampai setelah masa pubertas dimana ada kecenderungan pertumbuhan lesi akan berhenti dan hasil operasi yag dicapai akan lebih memuaskan. Tetapi jika pembedahan harus dilakukan selama masa pertumbuhan tulang karena mengingat segi kosmetik disamping dikhawatirkan kerusakan tulang yang lebih berat maka pembedahan kembali dapat dilakukan pada umur dimana pertumbuhan tulang telah berhenti.
Tindakan pembedahan dilakukan apabila dijumpai beberapa kondisi sebagai berikut, yaitu:
1. lesi menimbulkan rasa sakit
2. lesi menekan atau merusak jaringan di sekitarnya
3. lesi menimbulkan gambaran atau roman muka yang jelek
4. keadaan lesi merupakan predisposisi patologi terhadap kemungkinan timbulnya fraktur
Untuk kasus fibrous displasia yang ringan atau sedang tindakan pembedahan merupakan indikasi, tetapi terhadap bentuk yang lebih parah tidak mungkin dilakukan dengan cara ini, karena ada kecenderungan progresif. Karena alasan inilah penggunaan sinar X mungkin dapat menolong untuk menekan aktivitas ostoblastik dan pada beberapa kasus nampaknya berhasil tetapi perlu mendapat perhatian, perawatan dengan cara penyinaran ini mengandung resiko karena ada kemungkinan dapat menimbulkan komplikasi sarcoma seperti yang telah banyak dilaporkan dari kasus fibrous displasia.perawatan dengan penyinaran pada fibrous displasia tidak efektif bahkan disebutkan sebagai kontraindikasi karena radiasi dapat merangsang perkembangan sarcoma.

Sumber : http://yumizone.wordpress.com/2009/01/07/fibrous-displasia/